Cari Blog ini

Rabu, 14 September 2011

Novel harry Potter 7 bab 2

Harry terluka. Ia menggenggam tangan kanannya dengan tangan kirinya, 
menyumpahnyumpah dalam bisikan. Ia membuka pintu kamar dengan bahunya. 
Terdengar suara pecahan perabot porselen, dan sebuah pecahan cangkir 
berisi teh dingin tergeletak di lantai depan pintu kamarnya. 
"Apa-apaan…?" 
Ia melihat sekelilingnya, rumah nomor empat, Privet Drive yang sepi. Sepertinya 
ide cangkir teh ini adalah salah satu ide jebakan terbaik dari Dudley. Menjaga 
agar tangannya yang terluka tetap terangkat, Harry mengambil semua pecahan
cangkir itu dengan tangannya yang lain, dan membuangnya ke tempat sampah di 
dekat pintu kamarnya. Lalu ia langsung ke kamar mandi untuk mencuci lukanya. 
Sungguh benar-benar bodoh dan membosankan, bahwa ia harus menghabiskan 
empat minggu menahan diri untuk tidak menggunakan sihir… tapi ia merasa 
bahwa luka di jarinya dapat memaksanya untuk melakukan sihir. Sayangnya ia 
tak pernah belajar bagaimana mengobati luka, dan sekarang ia mulai berpikir 
bagaimana cara melakukannya. Ia berencana untuk menanyakan caranya pada 
Hermione, Sekarang ia menggunakan banyak tisu untuk membersihkan 
tumpahan tehnya sebelum ia kembali ke kamar dan membanting pintu kamarnya. 
Harry menghabiskan pagi ini untuk mengosongkan koper yang selalu ia gunakan 
selama enam tahun terakhir. Pada tahun pertamanya, ia memenuhi kurang lebih 
tiga perempatnya lalu kadang mengganti atau menambahkan isinya tiap tahun, 
dan meninggalkan sisa-sisa di dasar koper – pena bulu lama, mata kumbang yang
telah mengering, dan kaus kaki yang sudah tidak cukup lagi. Beberapa menit 
sebelumnya, Harry memasukkan tangannya ke dalam tumpukan itu, dan 
menghasilkan rasa sakit yang luar biasa dan pendarahan di keempat jari tangan 
kanannya. 

Kini ia lebih berhati-hati. Ia berlutut di sebelah kopernya, ia meraba-raba dasar 
kopernya dan menemukan sebuah lencana tua yang berkedip-kedip antara 
DUKUNG CEDRIG DIGGORY dan POTTER BAU, Teropong Musuh rusak yang 
sudah tak bisa dipakai lagi, sebuah liontin emas dengan sebuah catatan dari 
R.A.B. di dalamnya, dan akhirnya ia menemukan apa yang melukai jarinya. Ia 
langsung mengenalinya. Sebuah pecahan cermin sepanjang lima senti pemberian 
bapak baptisnya, Sirius. Harry meletakkannya dan melanjutkan mencari 
peninggalan lain dari bapak baptisnya. Tapi yang tersisa hanya sisa pecahan 
cermin yang tersebar di dasar kopernya. 
Harry duduk dan memerhatikan cermin yang telah melukai jarinya, yang 
dilihatnya hanyalah bayangan dari mata hijau cerahnya. Lalu ia meletakkan 
pecahan cermin itu di atas Daily Prophet terbitan hari ini, yang tergeletak 
begitu saja di atas tempat tidur. 
Butuh empat jam penuh untuk mengosongkan koper, membuang yang tidak perlu, 
memilih barang-barang apa yang akan kembali masuk ke dalam koper dan akan ia 
bawa. Jubah sekolah, jubah Quidditich, kuali, perkamen, pena bulu, buku 
sekolahnya, jelas ia akan meninggalkannya. Ia membayangkan apa yang akan 
dilakukan oleh paman dan bibinya, mungkin mereka akan membakarnya, 
menganggapnya seperti barang bukti kejahatan. Baju Muggle, Jubah Gaib, bahan 
membuat ramuan, beberapa buku, album foto yang Hagrid berikan padanya, 
setumpuk surat, dan tongkatnya, dipaksa masuk ke dalam ransel tuanya. Di 
kantung depan, tersimpan Peta Perompak dan liontin dengan catatan dari R.A.B. 
di dalamnya. Liontin itu begitu penting karena begitu banyak hal terjadi dalam 
usaha untuk mendapatkannya. 
Setumpuk koran tergeletak di meja sebelah burung hantu peliharaannya, 
Hedwig, yang datang setiap hari selama Harry menghabiskan liburan musim 
panasnya di Privet Drive. 
Harry berdiri, meregangkan otot-ototnya, dan berjalan menuju meja. Hedwig 
diam saja saat Harry mulai membuang koran-koran itu ke dalam tempat 
sampah. Burung hantu itu sedang tidur, atau berpura-pura tidur. Ia sedang 
marah pada Harry karena begitu jarang mengizinkannya keluar dari kandang. 
Begitu tumpukan koran mulai menipis, Harry mencari satu edisi koran yang 
terbit saat ia baru tiba di Privet Drive. Ia ingat bahwa di halaman depan
tercetak berita kecil tentang pengunduran diri Charity Burbage, guru Telaah 
Muggle di Hogwarts. Dan ia menemukannya. Ia membuka halaman sepuluh, ia 
duduk di kursinya dan mulai membaca ulang berita duka yang dicarinya. 
MENGENANG ALBUS DUMBLEDORE 
oleh Elphias Doge 
Pertama kali aku bertemu dengan Albus Dumbledore adalah saat aku berusia 
sebelas tahun, di hari pertama kami di Hogwarts. Ketertarikan kami berawal 
saat kami diacuhkan oleh orang-orang. Aku baru saja terkena cacar naga sesaat 
sebelum masuk sekolah, walaupun sudah tak lagi menular, bekas cacar kehijauan 
itu membuat hanya sedikit orang berani mendekatiku. Sedangkan Albus, datang 
ke sekolah membawa nama buruk. Beberapa tahun sebelumnya, ayahnya, 
Percival, ditangkap karena telah menyerang tiga Muggle muda dengan kejam. 
Albus tidak pernah mengelak bahwa ayahnya (yang meninggal di penjara 
Azkaban) telah berbuat kesalahan. Sebaliknya, saat aku memberanikan diri 
untuk bertanya, dia malah meyakinkanku bahwa ayahnya benar-benar bersalah. 
Lalu, Dumbledore tidak akan melanjutkan ceritanya, tidak ingin membicarakan 
hal-hal sedih, katanya. Walaupun banyak orang yang mengungkit-ungkit hal 
tersebut. Beberapa di antaranya, memuji tindakan ayahnya, dan menganggap 
bahwa Albus juga seorang pembenci Muggle. Tapi mereka benar-benar keliru. 
Karena semua orang tahu bahwa Albus tidak pernah tertarik dengan gerakan 
anti-Muggle. Malahan dia sangat mendukung hak-hak Muggle, yang membuatnya 
memiliki banyak musuh dalam beberapa tahun terakhir. 
Dalam beberapa bulan, nama Albus mulai lebih dikenal daripada nama 
ayahnya. Di akhir tahun pertamanya, dia tak lagi dikenal sebagai anak dari 
seorang pembenci Muggle, namun lebih dikenal sebagai siswa paling 
cemerlang yang pernah ada di sekolah. Dan teman-temannya mendapatkan 
banyak keuntungan darinya, termasuk pertolongan dan dorongan semangat 
yang tulus darinya. Dan dia mengaku padaku bahwa dia menemukan 
kesenangan tersendiri saat mengajar. 
Dia tidak hanya memenangkan semua hadiah yang sekolah pernah tawarkan, dia 
juga secara rutin berkoresponden dengan para penyihir hebat pada masanya, 
termasuk Nicolas Flamel, alkemis kenamaan, Bathilda Bagshot, sejarahwati 
terkemuka, dan Adalbert Waffling, ahli teori sihir. Beberapa esainya tiba-tiba 
dipublikasikan di Transfiguration Today, Challenges in Charming, dan Practical 
Potioneer. Karir masa depan Dumbledore sepertinya sudah terukir. Dan 
pertanyaan yang tersisa hanyalah kapan kira-kira dia akan menjadi Menteri
Sihir. Walau sudah diprediksikan pekerjaan apa yang akan dia lakukan, dia tidak 
pernah berkeinginan untuk bekerja di Kementrian. 
Tiga tahun setelah dia memulai sekolahnya, saudara Albus, Aberforth, tiba di 
sekolah. Mereka benar-benar tidak mirip. Aberforth bukanlah seorang kutu 
buku seperti Albus. Dia lebih memilih untuk menyelesaikan masalah dengan 
berduel daripada beradu argumen. Namun adalah kesalahan besar bila 
menganggap kakak beradik ini tidak saling bersahabat. Mereka berteman 
layaknya dua orang anak yang berbeda satu sama lain. Bagi Aberforth, tentu 
sulit terus hidup di bawah bayang-bayang Albus. Berusaha terus-menerus untuk 
menjadi lebih cemerlang, baik sebagai teman ataupun saudara. Saat Albus dan 
aku lulus dari Hogwarts, kami berencana untuk berkeliling dunia bersama, 
mengunjungi dan belajar dari penyihir lain, sebelum memulai karir masingmasing. Akan tetapi, sebuah tragedi terjadi. Pada malam keberangkatan kami, 
ibu Albus, Kendra, meninggal, meninggalkan Albus sebagai kepala keluarga. Aku 
menunda keberangkatanku cukup lama untuk dapat menghadiri penguburan 
Kendra, dan melanjutkan perjalananku sendirian. Dengan adik-adik yang butuh 
diurus, dan hanya sedikit emas yang tersisa, tidak mungkin Albus bisa 
menemaniku. 
Dan itu adalah suatu masa di mana kami jarang saling menghubungi. Aku menulis 
pada Albus, keseluruhan perjalananku. Mulai dari bagaimanan aku berhasil lolos 
dari Chimaera di Yunani, hingga bereksperimen dengan alkemis dari Mesir. 
Suratnya kepadaku berisi tentang kesehariannya, yang menurutku tentu sangat 
membosankan untuk seorang penyihir sehebat dirinya. Terbenam sendiri dalam 
perjalananku, di tahun terakhir perjalananku, aku mendengar sebuah berita 
duka, yang menyatakan bahwa Dumbledore mengalami tragedi lain, kematian 
saudarinya, Ariana. 
Walau Ariana memang sudah sakit-sakitan, kematiannya setelah kematian sang 
ibu, sungguh mempengaruhi kedua saudaranya. Semua orang yang dekat dengan 
Albus – dan aku menganggap diriku salah satu di antaranya – yakin bahwa Albus 
merasa bertanggung jawab atas kematian Ariana, walaupun tentu saja, dia tidak 
bersalah. 
Saat aku kembali, aku telah menemui seorang pria muda yang sudah mengalami 
banyak pengalaman layaknya pria berumur. Albus menjadi lebih berhati-hati 
dan periang dari sebelumnya. Dan sebagai tambahan untuk kesengsaraannya, 
hubungan dengan saudaranya Aberforth, mulai merenggang. Kemudian, dia mulai 
jarang membicarakan keluarganya, dan teman-temannya belajar untuk tidak 
mengungkitnya. 
Cerita lain akan mengungkapkan keberhasilannya di tahun-tahun berikutnya.
Kontribusi Dumbledore yang tak terhitung untuk pengetahuan, termasuk 
penemuannya atas dua belas fungsi dari darah naga yang memberi banyak 
keuntungan untuk generasi selanjutnya. Begitu pula kearifan yang 
ditunjukkannya dalam pengadilan saat dia menjadi Chief Warlock of 
Wizengamot. Banyak yang berkata bahwa tidak ada pertarungan yang dapat 
menandingi duel antara Dumbledore dengan Grindelwald di tahun 1945. Mereka 
yang menjadi saksi mata, menggambarkan bagaimana kedua penyihir luar biasa 
itu bertarung. Dan kemenangan Dumbledore, yang memengaruhi dunia sihir dan 
menjadi titik balik sejarah sihir, atas kejatuhan Dia-yang-Namanya-Tak-BolehDisebut. 
Albus Dumbledore tidak pernah membanggakan diri atau menjadi sombong. Dia 
selalu menghargai tiap orang yang dia kenal, dan aku percaya bahwa semua 
tragedi yang pernah dia alami membuatnya menjadi lebih memiliki rasa 
kemanusiaan dan lebih mudah bersimpati. Aku akan sangat merindukan 
persahabatan ini lebih dari yang bisa aku ungkapkan, namun rasa kehilangan ini 
tidak akan memengaruhi dunia sihir. Dia telah menjadi inspirasi dan merupakan 
Kepala Sekolah Hogwarts yang paling dicintai. Dia meninggal seperti saat ia 
hidup, bekerja dengan kemampuannya yang terbaik hingga saat-saat 
terakhirnya, sama seperti saat dia mengulurkan tangannya pada seorang anak 
yang terkena cacar naga, saat pertama aku pertama kali bertemu dengannya. 
Harry selesai membaca, namun terus menatap gambar yang terpampang di 
sana. Dumbledore yang sedang tersenyum ramah, namun tatapan dari balik 
kacamata bulan separonya memberikan kesan, walau dalam koran, seakan 
menembus Harry dan merasakan kesedihan dan rasa malunya. 
Harry merasa sudah sangat mengenal Dumbledore, namun sejak ia membaca 
berita ini, ia menyadari bahwa ia hampir tidak mengenal Dumbledore sama 
sekali, tak pernah sekali pun ia pernah membayangkan masa muda Dumbledore. 
Rasanya ia hanya muncul begitu saja seperti saat Harry mengenalnya – tua, 
berambut keperakan, dan baik hati. Gagasan atas Dumbledore saat remaja 
sungguh aneh, seperti membayangkan bagaimana bodohnya Hermione, atau 
seberapa ramah Skrewt-Ujung-Meletup. Harry tidak pernah berpikir untuk 
menanyakan masa lalu Dumbledore. Ia yakin akan aneh dan kurang sopan. Namun, 
merupakan pengetahuan yang umum tentang pertarungan luar biasa antara 
Dumbledore dan Grindelwald, dan Harry tidak pernah bertanya bagaimana 
kejadiannya, atau semua pencapaiannya yang membuatnya terkenal. Tidak, 
mereka selalu berbicara tentang Harry – masa lalu Harry, masa depan Harry, 
rencana Harry, dan bagaimana Harry saat ini – memberitahu bahwa masa depan 
Harry begitu berbahaya dan tidak pasti. Namun ia melepaskan semua 
kesempatan untuk bertanya tentang Dumbledore. Bahkan pertanyaan pribadi
yang pernah ia tanyakan pada kepala sekolahnya, mungkin tidak dijawab 
sungguh-sungguh oleh Dumbledore. 
"Apa yang Anda lihat saat Anda melihat ke cermin?" 
"Aku? Aku melihat diriku memegang sepasang kaus kaki wol tebal." 
Setelah beberapa menit berpikir, Harry merobek berita itu, melipatnya hatihati dan menyelipkannya ke dalam buku Pertahanan Sihir dan Penggunaannya 
untuk Melawan Ilmu Hitam. Lalu ia membuang sisa koran itu ke tempat sampah 
dan melihat kamarnya. 
Kamarnya jauh lebih rapi. Yang tersisa hanyalah Daily Prophet edisi hari ini, 
masih tergeletak di atas tempat tidur, yang di atasnya ada pecahan cermin. 
Harry berjalan menuju tempat tidurnya, menggeser pecahan cermin dan 
membuka koran. Ia telah melihat tajuknya saat gulungan koran itu baru diantar 
oleh burung hantu, namun tidak ada berita tentang Voldemort. Harry yakin 
bahwa Kementrian telah menekan Prophet untuk tidak memberitakan Voldemort. 
Tapi sepertinya ada sesuatu yang ia lewatkan. 
Di bagian tengah di halaman pertama, tajuk yang lebih kecil dengan potret 
Dumbledore berjalan gelisah. 
DUMBLEDORE – KEBENARAN? 
Minggu depan, cerita yang mengejutkan tentang penyihir jenius yang dianggap 
sebagai penyihir terhebat pada masanya. Mematahkan imej seorang penyihir 
berjanggut keperakan yang tenang dan bijaksana. Rita Skeeter mengungkapkan 
masa kanakkanaknya yang kurang menyenangkan, masa muda yang tidak 
mengenal hukum, dan masa hidup yang penuh perseteruan, dan rahasia yang 
Dumbledore bawa hingga ke liang kuburnya. MENGAPA seseorang yang dapat 
menjadi seorang Menteri Sihir hanya menjadi kepala sekolah? APA tujuan 
sebenarnya dari organisasi rahasia yang diketahui sebagai Orde Phoenix? 
BAGAIMANA Dumbledore meninggal? 
Jawaban dari pertanyaan di atas dan banyak pertanyaan lain akan dibahas dalam 
biografi 'Kehidupan dan Kebohongan Albus Dumbledore', yang ditulis oleh Rita 
Skeeter, wawancara eksklusif bersama Betty Braithwaite, halaman 13. 
Harry membuka korannya dan menemukan halaman tiga belas. Artikel itu
berada di bagian atas halaman dengan potret wajah yang sudah Harry kenal. 
Seorang wanita dengan kacamata hias dan rambut pirang ikal, dengan senyum 
kemenangan yang menunjukkan giginya yang berjajar rapi, menggelungkan 
jari-jarinya ke arahnya. Berusaha untuk tidak peduli pada potret yang 
memuakkan itu, Harry mulai membaca. 
Sebenarnya Rita Skeeter adalah pribadi yang hangat dan lembut bila 
dibandingkan dengan artikelnya yang ganas. Menyambutku di rumahnya yang 
nyaman. Dia langsung mengajakku ke dapur, menyeduhkanku secangkir teh, dan 
memberikan sepotong kue, dan pembicaraan tentang gosip terhangat pun mulai 
mengalir. 
"Ya, tentu saja, Dumbledore adalah sebuah mimpi bagi penulis biografi," kata 
Skeeter. "Hidupnya yang panjang. Aku yakin bukuku adalah yang pertama 
karena akan banyak pula yang lain." 
Skeeter bekerja cukup cepat. Buku setebal sembilan ratus halaman ini hanya 
ditulis dalam jangka waktu empat minggu setelah kematian misterius 
Dumbledore di bulan Juni. Aku bertanya padanya bagaimana dia bisa 
menyelesaikannya begitu cepat. 
"Oh, bila engkau telah menjadi jurnalis seperti aku, bekerja dengan tenggat 
waktu yang pendek akan menjadi kebiasaan. Aku mengerti bahwa dunia sihir 
sangat menanti untuk mengetahui cerita selengkapnya, dan aku ingin menjadi 
orang pertama yang memenuhi keinginan mereka." 
Aku mengatakan padanya tentang komentar Elphias Doge, Special Advisor to 
the Wizengamot, yang merupakan teman lama Albus Dumbledore yang 
menyatakan bahwa "Fakta-fakta yang ditulis Skeeter, tidak lebih dari fakta 
yang tertulis di kartu Cokelat Kodok." 
Skeeter berpaling dan tertawa. 
"Dodgy sayang! Aku ingat saat aku mewawancarai dia beberapa tahun lalu 
tentang hakhak para duyung, terberkatilah dia. Benar-benar konyol, sepertinya 
kami hanya dudukduduk di dasar danau Windermere, dan dia terus 
mengingatkanku untuk berhati-hati dengan ikan trout." 
Belum lagi tuduhan Elphias Doge atas ketidak-akuratan yang tersebar di manamana. Apakah Skeeter benar-benar merasa bahwa empat minggu merupakan 
waktu yang cukup untuk mengumpulkan data atas kehidupan Dumbledore yang 
panjang dan tidak biasa? 
"Oh, sayang," kata Skeeter, mengingatkanku dengan penuh kasih, "kau sama
tahunya dengan diriku, sebanyak apa informasi yang dapat kita kumpulkan 
dengan sekantung penuh Galleon, berkeras menolak kata ‘tidak’, dan sebuah Pena 
Bulu Kutip Kilat! Orang-orang mengantri untuk mendapat remah-remah dari 
Dumbledore. Tidak semua orang berpikir bahwa dia begitu hebat, kau tahu – dia 
suka cari masalah dengan banyak orang penting. Tapi si Dodge tua itu tidak bisa 
menyangkal karena aku telah mendapatkan sumber yang membuat tiap jurnalis 
mau menukarnya bahkan dengan tongkat mereka. Seseorang yang tidak pernah 
berbicara di depan publik sebelumnya dan begitu dekat dengan Dumbledore 
pada masa mudanya." 
Biografi yang Skeeter tulis tentunya akan mengejutkan setiap orang yang 
percaya bahwa Dumbledore memiliki hidup bersih tanpa kesalahan. Apa rahasia 
yang paling mengejutkan yang engkau temukan, tanyaku. 
"Cukup, Betty, aku tidak akan memberitahukan berita terhebat sebelum 
orang-orang membeli bukuku!" tawa Skeeter. "Tapi aku meyakinkanmu bahwa 
setiap orang yang percaya bahwa hidup Dumbledore seputih janggutnya akan 
sadar! Anggap saja orang-orang tidak tahu semarah apa dia, saat Kau-TahuSiapa tahu bahwa dia pernah menganut Ilmu Hitam pada masa mudanya! Ya, 
Albus Dumbledore memiliki masa lalu yang begitu kelam, belum lagi 
keluarganya yang mencurigakan, dimana dia selalu berusaha untuk 
menyembunyikannya." 
Aku bertanya apakah yang Skeeter maksud adalah saudara Dumbledore, 
Aberforth, yang dinyatakan bersalah oleh Wizengamot atas skandal lima belas 
tahun lalu. 
"Oh, Aberforth hanyalah bagian kecil," tawa Skeeter. "Tidak, tidak, aku 
berbicara tentang sesuatu yang lebih buruk dari kegemaran saudaranya yang 
suka bermain-main dengan kambing, lebih buruk ayahnya yang pembenci Muggle 
– Dumbledore tidak dapat meredamnya tentu saja, keduanya dianggap bersalah 
oleh Wizengamot. Bukan juga ibu dan saudarinya yang menggugah rasa ingin 
tahuku. Kalian harus membaca bab sembilan hingga dua belas agar tahu lebih 
lengkap. Dan tidak heran pula mengapa Dumbledore tidak pernah bercerita 
bagaimana hhidungnya patah." 
Walaupun begitu, apakah Skeeter mengelak dari kecemerlangan 
Dumbledore yang membuatnya menghasilkan banyak penemuan? 
"Dia memang pintar," akunya, "walaupun banyak pertanyaan yang muncul apakah 
hanya dia sendiri yang berhak atas segala penemuannya, seperti yang aku 
ungkapkan di bab enam belas. Ivor Dillonsby telah menyatakan bahwa dia telah 
menemukan delapan fungsi darah naga sebelum Dumbledore mempublikasikan
esainya." 
Tapi beberapa hal penting yang dilakukan Dumbledore tidak dapat dapat 
disangkal, kataku. Bagaimana dengan pertarungannya dengan Grindelwald? 
"Oh, aku benar-benar senang akhirnya kau menanyakan hal itu," kata Skeeter 
dengan senyumnya yang menggoda. "Sepertinya kemenangan spektakuler 
Dumbledore pun tak lebih dari sekadar omong kosong. Jangan begitu yakin 
bahwa telah terjadi sebuah pertarungan hebat yang melegenda. Setelah 
engkau membaca bukuku, engkau akan tahu bahwa sebenarnya Grindelwald 
telah mengibarkan saputangan putihnya dan menyerah begiru saja." 
Skeeter menolak untuk memberi penjelasan lebih lanjut pada subjek yang 
menarik ini. Lalu kami melanjutkan pada sevuah hubungan yang akan membuat 
pembaca terkagumkagum. 
"Oh, ya," kata Skeeter, mengangguk dengan tenang, "aku mencurahkan satu bab 
penuh untuk membahas hubungan Potter-Dumbledore. Yang ternyata merupakan 
hubungan yang tidak sehat, menakutkan bahkan. Sekali lagi, para pembaca harus 
membeli bukuku untuk mengetahui cerita lengkapnya. Walau Dumbledore tidak 
mengambil keuntungan dari hubungan yang aneh ini, malah si bocah yang 
mendapat semua keuntungannya. Dan ini juga membuktikan bahwa Potter 
memiliki masa remaja yang penuh masalah." 
Aku bertanya apakah Skeeter masih berhubungan dengan Harry Potter, yang 
telah membuatnya begitu terkenal karena wawancara tahun lalu. Sebuah 
wawancara eksklusif dengan Potter tentang kembalinya Kau-Tahu-Siapa. 
"Oh, ya, kami menjadi sangat dekat," kata Skeeter. "Potter yang malang hanya 
memiliki sedikit teman baik, dan kami bertemu pada saat terberat dalam masa 
hidupnya – Turnamen Triwizard. Mungkin aku satu-satunya orang yang masih 
hidup yang tahu siapa Harry Potter sebenarnya." 
Hal ini membuat kami membicarakan tentang rumor yang beredar tentang 
detik-detik terakhir Dumbledore. Apakah Skeeter percaya bahwa Potter ada 
di dekat Dumbledore saat kematiannya? 
"Wah, aku tidak bisa berkata banyak – semuanya ada di buku – tapi saksi mata 
yang ada di Hogwarts melihat Potter berlari dari tempat kejadian sesaat 
setelah Dumbledore jatuh, melompat, atau didorong. Potter kemudian memberi 
keterangan melawan Severus Snape, seorang pria yang tentunya akan 
mendendam karenanya. Apakah semua yang kita lihat benar-benar seperti yang 
kita lihat? Itu yang harus ditentukan oleh para komunitas sihir – setelah 
mereka membaca bukuku." PDF by Kang Zusi
Aku mencatat dengan rasa ingin tahu yang mulai tumbuh. Dan tidak diragukan 
lagi bahwa buku Skeeter akan menjadi bestseller. Sementara para pengagum 
Dumbledore akan gemetar mengetahui siapa sebenarnya pahlawan mereka. 
Harry telah membaca habis artikel itu, namun terus menatap kosong pada 
halaman itu. Rasa marahnya tiba-tiba memuncak dan membuatnya muak. Ia 
menutup koran itu dan melemparnya ke dinding, yang lalu terjatuh di sekitar 
tempat sampah bersama sampah lain yang tak kebagian tempat karena 
tempat sampah yang terlalu penuh. 
Harry mencoba menyibukkan diri, membuka laci kosong dan memasukkan bukubuku yang seharusnya berada di sana, lalu kata-kata Rita bermunculan di 
kepalanya satu bab penuh tentang hubungan Potter-Dumbledore… yang bisa 
dibilang tidak sehat, menakutkan bahkan… ia menganut Ilmu Hitam di masa 
mudanya… aku telah mendapatkan sumber yang dapat membuat setiap jurnalis 
mau menukarnya dengan tongkat mereka… 
"Pembohong!" teriak Harry, dari jendela terlihat tetangganya yang berhenti 
memotong 
rumput karena kaget, dan melihatnya dengan gugup. 
Harry duduk di tempat tidurnya. Pecahan cermin itu meluncur menjauh 
darinya, ia 
mengambilnya dan memainkannya dalam jari-jarinya. Ia berpikir, 
memikirkan 
Dumbledore dan semua kebohongan yang Rita Skeeter karang…
Sekilas terlihat biru terang. Harry membeku, jari-jarinya yang terluka 
memegangi ujung 
cermin yang tadi melukainya. Ia tidak berkhayal, hal itu benar-benar terjadi. Ia 
menoleh, 
namun yang terlihat hanya dinding berwarna krem pucat pilihan bibi Petunia, dan 
tidak 
ada yang berwarna biru yang bisa dipantulkan cermin itu. Ia melihat ke dalam 
cermin itu, 
tapi yang bisa ia lihat hanya bayangan mata hijaunya yang cerah. 
Ia hanya berkhayal, hanya itu penjelasannya. Berkhayal, karena ia tengah 
memikirkan 
kematian kepala sekolahnya. Tapi bila itu benar terjadi, tadi adalah warna biru 
terang dari 
mata Albus Dumbledore.

Novel harry Potter 7 part 2 bab 1

Dua orang itu muncul secara tiba-tiba, terpisah beberapa meter di sebuah 
jalan sempit yang diterangi oleh cahaya bulan. Sesaat mereka berdiri diam, 
tongkat masing-masing saling terarah ke dada yang lain. Setelah mengenali 
satu sama lain, mereka menyimpan tongkat masing-masing dibalik jubah dan 
mulai berjalan cepat ke arah yang sama. 
"Bagaimana?" tanya orang yang paling tinggi dari 
keduanya. "Sempurna," jawab Severus Snape. 
Jalan kecil itu dikelilingi oleh semak liar yang rendah disebelah kiri, pagar 
tanaman yg tinggi dan terawat disebelah kanan. Jubah panjang mereka 
berkibar selagi mereka berjalan bersama. 


"Kupikir aku akan terlambat," ujar Yaxley, tubuh lebarnya terlihat dan 
menghilang di bawah cahaya bulan yang terhalang dedaunan. "Sedikit lebih rumit 
dari yang kukira, tapi kuharap dia puas. Kedengarannya kau yakin bahwa 
sambutanmu akan bagus?" 
Snape hanya mengangguk tanpa memberikan penjelasan. Mereka berbelok ke 
kanan, ke arah jalan raya yang lebar yang menjadi ujung jalan kecil itu. Pagar 
tanaman tinggi yang mengelilingi mereka membelok di kejauhan, di belakang 
pagar besi yang menghalangi jalan kedua lelaki itu. 
Tidak satu pun dari mereka menghentikan langkah: dalam kesunyian keduanya 
mengangkat lengan kiri mereka dalam penghormatan lalu berjalan menembusnya, 
seakan pagar logam berwarna gelap itu hanyalah asap. 
Pagar tanaman itu seakan meredam suara langkah kaki mereka. Terdengar 
sebuah desikan di suatu tempat di sisi kanan mereka : Yaxley mengacungkan 
tongkatnya lagi, mengarahkannya melewati kepala kawannya, tapi sumber 
desikan itu ternyata hanyalah seekor burung merak putih yang berjalan dengan 
angkuh disepanjang puncak pagar tanaman itu. "Selalu berkecukupan, Lucius. 
Burung merak..." Yaxley memasukkan tongkat sihirnya dibalik jubah sambil 
mendengus. 
Rumah bangsawan yang menawan itu terlihat dalam kegelapan di ujung jalan, 
cahaya berkilau dari jendela berpanel silang di lantai bawah. Di bagian kebun 
yang gelap, air mancur bergemericik. Kerikil berbunyi di bawah kaki mereka 
ketika Snape dan Yaxley mempercepat langkah mereka menuju pintu depan 
yang mengayun terbuka kedalam ketika mereka mendekat, meskipun tak ada 
yang membukanya. 
Koridor yang mereka lewati berukuran lebar, cahayanya redup, dan dihiasi 
dengan indah, permadani mewah menutupi sebagian besar lantai batu. Mata
beberapa lukisan berwajah pucat yang tergantung di dinding mengikuti Snape 
dan Yaxley selagi mereka lewat. Langkah dua pria tersebut terhenti di depan 
pintu kayu besar yang menuju ruang berikutnya, dan berhenti sejenak untuk 
mengatur napas, lalu Snape memutar gagang pintu perunggu. 
Ruang tamu dipenuhi orang-orang yang duduk membisu mengelilingi meja hias. 
Perabotan yang biasanya menghias ruangan itu telah disingkirkan hingga merapat 
ke dinding. Penerangan ruangan itu berasal dari perapian pualam indah yang 
disepuh kaca. Snape dan Yaxley berdiri di ambang pintu. Setelah mata mereka 
terbiasa dengan cahaya yang redup, mereka melihat pemandangan yang sangat 
aneh: sosok manusia yang tak sadarkan diri tergantung aneh; terbalik; jauh 
diatas meja, sesuatu berputar pelan seperti digerakkan suatu benang yang tidak 
terlihat, dan bayangannya terpantul cermin di atas permukaan meja yang 
mengilat. Tidak seorang pun yang melihat ke atas, kecuali pemuda berparas 
pucat yang duduk hampir tepat di bawahnya. Sepertinya dia tidak mampu 
menahan diri untuk melihat ke atas tiap menit. 
"Yaxley. Snape," terdengar suara jelas bernada tinggi dari ujung meja. 
"Kalian hampir terlambat." 
Sosok yang berbicara duduk tepat di depan perapian, membuat kedua orang 
itu hanya bisa melihat siluetnya. Saat mereka mendekat, terlihat wajah 
bersinar dalam kegelapan, tidak memiliki rambut, seperti ular, dengan celah 
lubang hidung, dan pupil matanya berwarna merah vertikal. Wajahnya pucat 
seolah-olah memancarkan cahaya seputih mutiara. 
"Severus, kemari," Voldemort menunjuk tempat duduk yang berada tepat 
disebelah kanannya. "Yaxley- kau disamping Dolohov." 
Dua laki- laki itu mengambil tempat yang disediakan untuk mereka. Setiap mata 
disekitar meja memandang Snape, dan kepadanyalah Voldemort memulai 
pembicaraan. 
"Jadi?" 
"Tuanku, Orde Phoenix berniat memindahkan Harry Potter dari tempat 
perlindungan yang selama ini ditempatinya, sabtu depan, menjelang malam." 
Ketertarikan di sekitar meja memuncak: Beberapa terdiam, yang lain 
gelisah, semua menatap ke arah Snape dan Voldemort. 
"Sabtu... menjelang malam," ulang Voldemort. Mata merahnya menatap mata 
Snape yang hitam dan mampu membuat beberapa orang memalingkan wajah, 
mereka terlihat ketakutan seakan-akan mereka akan dibakar oleh keganasan
tatapan itu. Snape, meskipun begitu, balas menatap Voldemort dengan santai, 
dan beberapa saat kemudian, mulut tanpa bibir Voldemort melekuk membentuk 
senyuman. 
"Bagus. Bagus sekali. Dan informasi ini datangnya - " 
" - dari sumber yang pernah kita bicarakan," kata Snape. 
"Tuanku." 
Yaxley memajukan tubuhnya ke depan meja, sehingga dia dapat melihat
Voldemort dan Snape. Semua wajah mengarah padanya. 
"Tuanku, berita yang kudengar berbeda." 
Yaxley menunggu, tetapi Voldemort tidak berbicara, lalu dia melanjutkan, 
"Dawlish, salah satu Auror, mengatakan bahwa Potter tidak akan dipindahkan 
sampai tanggal tiga puluh, malam sebelum dia berusia tujuh belas." 
Snape tersenyum. 
"Sumberku mengatakan ada rencana palsu untuk menipu kita, rencana itulah 
yang pasti palsu. Tidak diragukan lagi, Dawlish terkena Mantra Confundus. Ini 
bukan pertama kalinya; dia dikenal karena kepekaannya." 
"Aku jamin, Tuanku. Dawlish tampak sangat yakin," kata Yaxley. 
"Jika dia berada dalam kutukan Confundus, tentu saja dia terlihat sangat 
yakin," kata Snape. "Kuberitahukan padamu, Yaxley, kantor Auror tidak lagi 
ikut campur masalah perlindungan Harry Potter. Orde tahuu bahwa kita telah 
menyusup ke dalam Kementerian." 
"Akhirnya Orde benar kali ini, eh?" kata pria bungkuk yang duduk tidak 
jauh dari Yaxley; dia mengeluarkan tawa aneh yang diikuti tawa lain di 
sekitar meja. 
Tetapi Voldemort tidak tertawa. Tatapannya terarah ke atas pada tubuh 
yang berputar pelan, dan dia terlihat tenggelam dalam pikirannya. 
"Tuanku," Yaxley meneruskan, "Dawlish yakin sekelompok Auror akan dipakai 
dalam pemindahan anak itu -" 
Voldemort mengangkat tangannya putihnya yang panjang, dan Yaxley terdiam, 
menatap kecewa ketika Voldemort berpaling lagi pada Snape. 
"Dimana anak itu akan disembunyikan nantinya?"
"Disalah satu rumah milik anggota Orde," kata Snape. "Tempatnya, menurut 
sumber, telah dilindungi dengan semua perlindungan yang dapat diberikan Orde 
dan Kementerian. Kurasa hanya ada sedikit kemungkinan bagi kita untuk 
membawanya dari sana, Tuanku, kecuali Kementerian berhasil kita kuasai 
sebelum sabtu depan, memberikan kita kesempatan untuk menemukan dan 
menghapus semua mantra yang ada di tempat itu." 
"Baiklah, Yaxley?" Voldemort menatap ke arah meja, nyala api berkilat aneh di 
matanya, "Akankah Kementerian kita kuasai Sabtu depan?" 
Sekali lagi, semua kepala beralih, Yaxley mencondongkan bahunya. 
"Tuanku, aku mempunyai berita bagus mengenai hal itu. Aku berhasil - dengan 
beberapa kesulitan rupanya, dan usaha yang maksimal - memantrai Pius 
Thickneese dengan kutukan Imperius." 
Beberapa orang yang duduk di sekitar Yaxley tampak terkesan, seseorang di 
sampingnya, Dolohov, pria berwajah panjang dan berkerut, menepuk punggung 
Yaxley. 
"Awal yang bagus," kata Voldemort. "Tapi Thicknesse seorang tidaklah cukup. 
Scrimgeour harus dikelilingi oleh orang orang kita sebelum kita beraksi. Satu 
kesalahan dalam pengambilan nyawa Kementerian akan membuatku kembali 
menempuh jalan yang panjang." 
"Ya - Tuanku, itu benar - tetapi kau tahu, sebagai Kepala Departemen 
Pelaksanaan Hukum Sihir, Thicknesse tidak hanya memiliki kontak dengan 
Menteri Sihir, tetapi juga dengan semua kepala departemen di Kementerian. Hal 
itu, kupikir, akan menjadi mudah karena pejabat tinggi berada di bawah kendali 
kita, dan mereka akan mempengaruhi yang lain, mereka akan bekerja sama untuk 
menjatuhkan Scrimgeour." 
"Selama teman kita Thicknesse tidak ketahuan sebelum dia mempengaruhi yang 
lain," kata Voldemort. "Bagaimanapun juga, Kementerian akan menjadi milikku 
sebelum sabtu depan. Jika kita tidak bisa menyentuh anak itu di tempat 
tujuannya, maka kita harus melakukannya saat dia sedang dalam perjalanannya." 
“Kita memiliki keuntungan, Tuanku,” kata Yaxley, yang tampak meminta 
dukungan. "Sekarang kita memiliki beberapa orang di Departemen 
Transportasi Sihir. Jika Potter ber–Apparate atau menggunakan jaringan 
Floo, kita akan segera tahu di mana dia berada.” 
“Dia tidak akan melakukannya,” kata Snape. "Orde tidak akan menggunakan 
segala bentuk transportasi yang dikontrol dan diatur oleh Kementerian;
mereka tidak mempercayai apapun yang dikerjakan Kementerian.” 
"Akan lebih baik,” kata Voldemort. ”Dia akan dipindahkan secara terbuka. Lebih 
mudah untuk ditangkap, pasti!” 
Sekali lagi Voldemort mendongak dan melihat tubuh yang terus berputar pelan 
selagi dia bicara. ”Aku akan mengurus anak itu sendirian. Terlalu banyak 
kesalahan yang melibatkan Harry Potter. Sebagian kesalahan tersebut akulah 
yang membuatnya. Potter selamat akibat kesalahanku dan bukan karena 
keberhasilannya.” 
Sekelompok penyihir di sekitar meja memperhatikan Voldemort dengan penuh 
kekhawatiran, beberapa dari mereka, terlihat dari ekspresi mereka, merasa 
takut mereka bisa saja disalahkan karena keberadaan Harry Potter yang masih 
ada sampai saat ini. Bagaimanapun, ucapan Voldemort sepertinya lebih ditujukan 
untuk dirinya sendiri daripada kepada sekelompok orang di ruangan itu, 
pandangannya masih tertuju pada sosok yang tak sadarkan diri di atasnya. 
“Aku telah ceroboh, dan tentu saja dihalangi oleh kesempatan dan 
keberuntungan, semua rencana yang kulakukan hanya menghasilkan rencana 
kosong yang tidak tercapai. Tapi sekarang aku tahu sesuatu yang lebih baik. 
Aku mengerti beberapa hal yang tidak kumengerti sebelumnya. Jika ada orang 
yang harus membunuh Harry Potter, orang itu adalah aku.” 
Ketika Voldemort mengucapkan kata-kata tersebut, terdengar sesuatu seperti 
tanggapan atas perkataan itu, terdengar suara ratapan, dan berlanjut suara 
tangisan kesengsaraan dan kesakitan. Beberapa orang melihat terkejut sambil 
melihat ke bawah meja, karena suara tersebut seakan-akan berasal dari kaki 
mereka sendiri. 
"Wormtail," kata Voldemort, tanpa perubahan dalam ketenangan suaranya, dan 
tanpa mengalihkan pandangan dari sosok tubuh yang berputar diatasnya, 
"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk membuat tawanan kita tetap diam?" 
“Ya, T- Tuanku,” sahut penyihir kecil yang duduk begitu rendah di kursinya, 
orang-orang meliriknya, dan kemudian mengabaikannya. Dia bangkit dari tempat 
duduknya lalu berlalu cepat dari ruangan itu tanpa meninggalkan apapun kecuali 
kilauan benda perak. 
“Seperti yang telah kusampaikan,” lanjut Voldemort, sambil melihat wajah 
tegang para pengikutnya, "Aku lebih mengerti kali ini. Saat ini juga aku harus 
meminjam tongkat salah satu dari kalian sebelum aku membunuh Potter.” 
Semua wajah menunjukkan keterkejutan yang luar biasa; seakan Voldemort
memberitahu mereka bahwa dia ingin meminjam salah satu lengan mereka. 
"Tidak ada sukarelawan?" kata Voldemort. "Kalau begitu... Lucius, aku tidak 
melihat alasan bahwa kau masih memerlukan tongkatmu." 
Lucius Malfoy mengangkat kepalanya. Kulitnya terlihat kekuningan dan 
seperti lilin dalam cahaya api, dan matanya cekung serta berbayang. Saat 
dia berbicara, suaranya terdengar parau. 
"Tuan?" 
"Tongkatmu, Lucius. Aku ingin tongkatmu." 
"Aku..." 
Malfoy melirik istrinya yang duduk di sampingnya. Istrinya menatap ke depan, 
wajahnya sama pucatnya seperti suaminya, rambut pirangnya yang panjang 
tergerai di bahunya, namun tersembunyi di bawah meja, jari-jari kurusnya 
memegang erat tangan Lucius. Dengan sentuhannya, Malfoy menarik tongkat 
yang terselip dijubahnya dan menyerahkannya pada Voldemort yang mengangkat 
tongkat itu, mata merahnya memperhatikan tongkat itu dengan seksama. 
“Apa jenis kayunya?” 
"Elm, Tuanku," bisik Malfoy. 
"Dan intinya?" 
"Naga - Serabut hati naga." 
“Bagus,” kata Voldemort. Dia menarik tongkatnya sendiri dan membandingkan 
ukuran panjangnya. Lucius Malfoy membuat gerakan tak disengaja; sekejap 
kemudian, dia tampak berharap menerima tongkat milik Voldemort untuk 
ditukar dengan miliknya. Gerakan itu terlihat oleh Voldemort, matanya 
melebar penuh kedengkian. 
"Kau pikir aku akan memberikan tongkatku, Lucius? Tongkatku?" 
Beberapa orang terkikik. 
“Aku telah memberikan kau kebebasan, Lucius, apa itu tidak cukup untukmu? 
Dan dari apa yang kuperhatikan, kau dan keluargamu tampak tidak bahagia 
akhir-akhir ini. Apakah kehadiranku di rumahmu sangat mengganggumu, 
Lucius?” 
“Tidak – Tidak sama sekali, Tuanku!”
“Kau berbohong Lucius … “ 
Terdengar suara mendesis yang bahkan membuat mulut kejam tersebut 
berhenti bergerak. Satu atau dua penyihir menunjukkan rasa takut saat desisan 
tersebut terdengar lebih keras; sesuatu yang berat terdengar sedang berjalan 
di bawah meja. 
Seekor ular besar muncul dan memanjat perlahan menuju kursi Voldemort. Ular 
itu terus berjalan naik dan melingkar pada bahu Voldemort. Tebal leher ular itu 
sama dengan paha manusia, matanya dengan pupil celah vertikal, tidak bekedip. 
Voldemort menyentuh pelan makhluk tersebut dengan jarinya yang kurus dan 
panjang, matanya masih menatap Lucius Malfoy. 
"Menapa keluarga Malfoy terlihat tidak bahagia dengan keadaan mereka saat 
ini? Apakah dengan kembalinya aku, kebangkitanku untuk menguasai dunia bukan 
hal yang mereka inginkan beberapa tahun terakhir ini?” 
“Tentu, Tuanku,” kata Lucius Malfoy. Tangannya bergetar saat dia menghapus 
keringat di atas bibirnya. “Kami menginginkannya – Sangat.” 
Di sisi kiri Malfoy, istrinya bergerak aneh, mengangguk kaku, matanya teralih 
dari Voldemort ke ularnya. Di kanannya, anaknya Draco, yang tengah menatap 
tubuh yang tidak berdaya di atas, melirik sekilas pada Voldemort dan langsung 
berpaling, dia terlalu takut melakukan kontak mata dengan Voldemort. 
“Tuanku,” kata seorang wanita berkulit gelap di pinggir meja barisan tengah, 
suaranya penuh dengan emosi, "Suatu kehormatan Anda berada di sini, di 
keluarga kami. Tidak ada kehormatan yang lebih baik daripada ini semua." 
Dia duduk di sebelah saudarinya, dan tidak memiliki kemiripan dengan 
saudarinya, rambutnya gelap dan pelupuk matanya tebal, dia terlihat sangat 
tegas dan rendah diri di hadapan Voldemort, sedangkan Narcissa duduk diam 
dan kaku. Bellatrix memajukan dirinya ke depan meja, tidak ada yang bisa 
menjelaskan kerinduannya untuk lebih mendekat. 
"Tidak ada kehormatan yang melebihi ini," ulang Voldemort, kepalanya 
dimiringkan ke arah lain seolah dia menilai Bellatrix. “Aku menganggapnya 
sebuah persetujuan, Bellatrix, darimu.” 
Wajahnya seketika berwarna; air mata kebahagiaan mengalir dari matanya. 
"Tuanku tahu aku mengatakan kebenaran." 
"Tidak ada kehormatan yang melebihi ini... bahkan jika dibandingkan dengan
pesta besar, yang kudengar berlangsung di kediaman keluargamu minggu ini?” 
Mata Bellatrix terbelalak, bibirnya membuka, dan dia terlihat kebingungan. 
“Saya tidak mengerti maksud anda, Tuanku.” 
“Aku membicarakan keponakanmu, Bellatrix. Dan tentunya keponakan kalian juga, 
Lucius dan Narcissa. Dia baru menikah dengan si manusia serigala, Remus Lupin. 
Kalian pasti merasa bangga.” 
Terdengar tawa mencemooh di sekitar meja. Beberapa wajah maju ke depan 
untuk memperlihatkan sirat kegembiraan; yang lain memukul meja dengan tinju 
mereka. Ular besar, yang membenci keributan, membuka mulutnya lebar dan 
mendesis marah, tetapi para Pelahap Maut tidak mendengarnya, mereka 
menikmati penghinaan yang ditujukan pada Bellatrix dan keluarga Malfoy. 
Wajah Bellatrix, yang berseri gembira, seketika berubah seakan-akan 
ditumbuhi bisul jelek dan merah. 
“Dia bukan keponakan kami, Tuanku,” dia menangis saat yang lain terlihat 
gembira. “Kami – Narcissa dan aku – tidak pernah berhubungan dengan 
saudara kami sejak dia menikah dengan si darah lumpur. Anak itu tidak punya 
hubungan apapun dengan kami berdua, begitu juga binatang buas yang dia 
nikahi.” 
“Bagaimana denganmu, Draco?” tanya Voldemort, suara pelannya mampu 
menyaingi ledekan dan cemohoohan. “Apakah kau akan merawat anaknya itu?” 
Kegembiraan memuncak, Draco Malfoy menatap ngeri pada ayahnya, yang 
hanya menunduk melihat kakinya sendiri, lalu beralih menatap ibunya. dia 
menggelengkan kepalanya nyaris tak terlihat, dan kembali menatap lurus ke 
arah dinding yang berlawanan. 
“Cukup,” kata Voldemort, menepuk ular yang marah. “Cukup.” 
Dan tawapun langsung berhenti. 
“Kebanyakan generasi sejak generasi tertua kita semakin lama semakin 
terinfeksi,” dia berbicara saat Bellatrix menatapnya, sambil menahan napas 
dan memohon, "Kau harus menjaga generasi keluargamu, tetap menjaganya 
sehat dengan memotong komponen yang mengancam kemakmurannya." 
"Ya Tuanku," bisik Bellatrix, dan sekali lagi matanya dipenuhi air mata 
terimakasih. "Dikesempatan pertama!" 
“Kau harus melakukannya,” kata Voldemort. "Di keluarga kalian, juga didunia...
kita akan membuang penyakit yang menginfeksi kita sampai hanya mereka 
yang berdarah murni yang tersisa...” 
Voldemort mengangkat tongkat Lucius Malfoy, mengarahkannya langsung pada 
sosok yang berputar pelan yang terikat terbalik di atas meja, dan memberinya 
sedikit jentikkan. Sosok itu mulai sadar dengan rintihan dan mulai berusaha 
melepaskan ikatan tak terlihat yang mengikatnya. 
"Apa kau mengenali tamu kita, Severus?” tanya Voldemort. 
Snape mendongak dan melihat pada wajah kacau balau yang terikat terbalik 
itu. Semua Pelahap Maut menatap tawanan itu, seolah mereka diberi izin untuk 
memperlihatkan keingintahuan mereka. Saat wanita itu berputar menghadap 
perapian, wanita itu mengeluarkan suara ketakutan dan gemetar, “Severus! 
Tolong aku!” 
“Ah, ya,” kata Snape ketika tawanan itu berputar pelan sekali lagi. 
“Dan kau, Draco?” tanya Voldemort, menepuk pelan moncong ular itu 
dengan tongkatnya. Draco menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Saat 
wanita itu kembali terbangun, Draco tidak mampu melihatnya lagi. 
"Kau tidak perlu mengambil kelasnya," kata Voldemort. "Bagi kalian yang belum 
tahu, kita kedatangan seseorang untuk bergabung dengan kita malam ini, Charity 
Burbage yang, sampai beberapa waktu yang lalu, mengajar di sekolah Sihir 
Hogwarts.” 
Terdengar bisikan kecil yang penuh dengan pemahaman. Di atasnya, gigi wanita 
tersebut bergemelutuk. 
“Ya … Professor Burbage mengajar para penyihir muda tentang Muggle... bahwa 
mereka tidak berbeda dari kita... “ 
Salah satu Pelahap Maut meludah ke lantai. Charity Burbage berputar 
menatap Snape sekali lagi. 
"Severus... kumohon... tolong..." 
"Diam," kata Voldemort, menjentikkan tongkat Malfoy, dan Charity langsung 
terdiam. "Merasa kurang dengan mengotori dan merusak pikiran para penyihir 
muda, minggu lalu Profesor Burbage menulis ketertarikan pada Darah Lumpur di 
Daily Prophet. Dia berkata, penyihir harus menerima pengetahuan dan sihir dari 
para pencuri tersebut. Berkurangnya darah murni, Profesor Burbage berkata, 
adalah keadaan yang sangat penting... Dia ingin kita semua berteman dengan
Muggle... atau, tidak diragukan lagi, manusia serigala..." 
Tak ada seorangpun yang tertawa kali ini. Ada kemarahan dan penghinaan dalam 
suara Voldemort. Untuk ketiga kalinya, Charity Burbage berputar menatap 
wajah Snape. Air mata mengalir dari matanya dan membasahi rambutnya. Snape 
balas menatapnya, terlihat tenang, setenang putaran Charity yang menjauh dari 
pandangannya. 
“Avada Kedavra!” 
Kilatan sinar hijau menerangi setiap sudut ruangan. Charity jatuh, bedebam 
keras, jatuh ke atas meja, yang bergetar dan retak. Beberapa Pelahap Maut 
terlonjak dari kursi mereka. Draco jatuh ke lantai. 
“Makan malam, Nagini,” kata Voldemort dengan dingin, dan ular besar itu 
berjalan turun dari bahunya kelantai mengkilap.dan Nagini Pun Memakannya.